29 Dec 2023

Diary Musyrifah : Obrolan Empat Mata

 

            Setiap awal tahun saya selalu berusaha menyempatkan diri mengobrol intens bersama santri. Santri saya panggil satu per satu untuk mengobrol berdua. Obrolan empat mata ini sebagai kunci untuk membuka dan menyelami hati mereka. Mengapa harus berdua? Karena mereka tidak akan mungkin bisa leluasa bercerita jika ada banyak teman di asrama.


“Hobi saya main game ustadzah.”

“Hmm begitu ya, nanti mau jadi apa?”

“Programmer.”

“Anti suka banget sama komputer, dong, ya, berarti?”

“Iya, Dzah.”


Itu adalah salah satu penggalan obrolan saya dengan santri. Kali lain ada yang bercerita tentang pengalamannya sewaktu sekolah dasar, dan banyak obrolan lainnya.


“Dia itu pacar saya waktu saya SD, tapi sekarang udah putus.”

“Kakak saya dulu murid ustadzah lho, sekarang kuliah di Malang.”

“Dulu kami sekeluarga pernah dikejar orang gila, itu pengalaman yang tak terlupakan, ustadzah.”


Kalimat di atas adalah beberapa penggalan obrolan kami. Yang paling penting untuk saya ketahui pertama adalah tentang keluarga. Jangan sampai saya berbicara tentang ibu padahal santri tersebut adalah piatu. Wajib untuk seorang musyrifah tahu, santri tersebut tinggal dimana, anak ke berapa, dan yang paling penting, apakah orang tuanya masih lengkap atau tidak.


Kedua, saya ingin mendeteksi apakah ada masalah di asrama atau tidak.


Karena tujuan terbesar saya adalah memastikan semua penghuni asrama merasa nyaman tinggal di asrama. Jika mereka nyaman, in syaa Allah tidak akan ada masalah di halaqah dan kelas karena mereka bisa nyaman belajar dan menghafal. Bisa mengatur waktu antri mandi dan makan dengan baik. Bangun tidur, piket, berangkat ke masjid dan ke sekolah pun tidak perlu banyak effort untuk menggerakkan mereka.


Asrama ibarat rumah. Semua anggota asrama adalah keluarga. Maka tidak boleh ada yang merasa terpinggirkan atau merasa sendirian.


Tugas musyrifah adalah membuat mereka tinggal senyaman mungkin, menjadi tempat bercerita, karena setiap santri, adalah manusia seperti kita. Memiliki perasaan dan ingin diperhatikan. Yang nampak baik-baik saja, belum tentu demikian. Maka menjadi pendengar yang baik adalah langkah tepat agar mereka merasa diterima dan berharga.


Sebagai musyrifah, tentu peran kita tidak cukup jika hanya menjadi pendengar saja. Di sisi lain, kita juga harus meluruskan jika pemahaman mereka masih kurang. Namun memberi pemahaman ini tentu saja tidak langsung serta merta, atau bahkan langsung melarang begini dan begitu. Karena jika demikian, ke depannya mereka tidak akan mau lagi berbagi cerita dengan kita. Begitu pun sebaliknya, tidak langsung mengiyakan semua keluh kesah mereka. Di sinilah musyrifah harus bisa tarik ulur dengan santri. Karena bagaimanpun juga, mereka adalah perempuan yang tercipta dari rusuk yang bengkok. Jika terlalu pelan, tidak akan lurus. Jika dipaksa lurus, akan patah.


Maka langkah yang tepat adalah pertama kali kita harus menerima emosi mereka. Setelah itu, baru kita selipkan nasehat pelan-pelan. Jika mereka merasa nyaman, kita akan kewalahan karena mereka akan datang sendiri kepada kita terutama ketika ada masalah.


Jadi musyrifah memang tidak mudah. Namun yang sulit bukan berarti tidak bisa dilalui.


Musyrifah memang sering kali dipandang sebelah mata, atau malah masih ada yang bertanya-tanya, musyrifah kerjanya apa, sih?


Musyrifah ini memang mirip-mirip seperti ibu. Seberapa beratnya pekerjaan, pasti tidak akan terlihat. Yang terlihat adalah, ibuku di rumah saja, tidak bekerja.


Maka dibutuhkan hati yang sangat lapang sebelum kita memutuskan untuk menjadi musyrifah.


Hati yang lapang ketika tidak dianggap, hati yang lapang ketika tidak mendapat penghargaan. Karena output dari pekerjaan sebagai musyrifah memang tidak terlihat. Jika angka rapot adalah hasil didikan guru di sekolah dan banyaknya ziyadah adalah hasil didikan guru di lingkaran halaqah, maka bersiap-siap saja, karena musyrifah tidak menghasilkan apa-apa.


Walaupun asrama selalu bersih, rak handuk dan sepatu selalu rapi. Tidur dan bangun tepat waktu, berangkat ke sekolah dan halaqah tidak telat, itu hanyalah sebuah keharusan. Tanpa perduli bagaimana susahnya musyrifah mengatur semua itu.


Santri bukan bebek yang jika diayun tongkat ke kanan, maka mereka akan bergerak ke kanan. Bukan juga robot yang mudah dkendalikan.


Mereka adalah tonggak peradaban. Musyrifah harus kuat untuk mendidik dan mengantarkan mereka ke peradaban yang lebih gemilang.


Semangat musyrifah!


Bogor, 29 Desember 2023

Ayu Wardati