Saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Beberapa hari sebelum
menikah, saya mengajukan surat pengunduran diri di tempat saya bekerja karena
suami menginginkan saya sepenuhnya di rumah. Saya belajar menjadi istri yang
baik dan bersiap menjadi guru pertama bagi anak kami kelak. Agak sulit memang,
tipe orang yang suka bekerja bahkan sering lembur, tiba-tiba harus mengurus
rumah. Sempat saya utarakan niat saya untuk kembali bekerja, "Bukankah
pisau yang tidak digunakan akan lebih mudah berkarat?" bujuk saya pada suami.
Namun hal itu rupanya tidak berdampak apa-apa. Ya, saya tetap
"berdiam" di rumah.
Diam itu emas, namun diam adalah option kedua, jika tidak bisa
berbicara yang baik atau bermanfaat. Lain halnya dengan perbuatan. Apa jadinya
jika wirausahawan di luar sana hanya diam saja? Bangkrut sudah pasti di depan
mata.
Jauh hari sebelum emansipasi menggema, istri-istri Rasulullah dan
para shahabiyat pun tidak hanya berpangku tangan dan berdiam diri saja. Aisyah
hanya di rumah, namun siapa yang lebih pintar darinya tentang Al-Qur'an?
Tentang hal yang fardhu, sunnah, syar'i, yang paling banyak meriwayatkan
hadist, sejarah Arab, ilmu nasab, bahkan ilmu kedokteran. Zainab binti Jahsy
sangat santunnya terhadap para yatim dan para janda, ia bekerja dengan
tangannya menyamak kulit kemudian ia sedekahkan di jalan Allah. Shafiyyah binti
Abdul Muththalib, adakah yang menghalanginya menjadi mujahidah dan penunggang
kuda yang pemberani? Dalam sejarah, semua tokoh terabadikan karena mereka
bergerak. Bahkan nyamuk pun, akan terbang kian kemari agar tangan kita tak
sampai padanya.
Lalu saya mulai menyadari, bukankah saya orang yang sama? Bekerja
atau tidak, mengasah otak atau tidak, kemampuan dan ketrampilan saya tetaplah
sama. Bahkan bisa saja bertambah lantaran lebih banyak waktu luang. Mulailah
saya membaca, belajar memasak, berbagi resep di blog yang saya buat pasca
menikah, berjualan gamis dan yang tak kalah seru saya bisa berkreasi membuat
sesuatu di rumah. Dari kardus bekas dan kertas kado atau origami, saya bisa menyulapnya
menjadi tempat pensil, tempat kertas, meja mini, kotak P3K, tempat manset,
pengingat jadwal, kantong uang bulanan, bahkan lemari mungil plus jahit hias
dari tali rafia. Made in saya ini tentu sangat berbeda, bisa membantu
menghemat, unik dan menjadi kepuasan tersendiri. Saking uliknya saya sama benda yang satu ini suami saya sampai berceletuk, "Nanti kalau anak kita lahir, bikin tempat tidurnya pake kardus aja ya." Hihi...
Suami saya adalah seorang guru sebuah pesantren di ujung kota
Bogor. Sudah sewajarnya saya meringankan bebannya dengan membantu mengoreksi soal atau mempersiapkan ini dan itu untuk sekolah. Itu wujud perhatian saya terhadap
suami. Pun begitu dengan orang lain, mungkin kita harus selalu peka terhadap
suasana dan menangkap seluruh peluang yang mungkin bisa kita lakukan. Misalnya
saja teman saya yang sama-sama sedang hamil, saya mengajaknya bertukar makanan
sehat setiap sepekan. Karena saya kurang rajin untuk membuat makanan atau makan
ini dan itu, manakala ada bayi lain yang harus dipikirkan, tentu akan menambah
semangat dalam rangka memperbanyak konsumsi makanan sehat, selain itu bayi
diajarkan untuk berbagi sesama saudara sejak dini :-)
Jika anda menyadari betapa besar potensi diri, hal yang tidak
mungkin bisa saja menjadi mungkin. Tengoklah kepada diri anda sendiri, lalu
carilah apa yang bisa anda lakukan dan tidak semua orang bisa melakukannya.
Misalnya saja menjahit, memasak dengan enak, dll. Itulah yang membedakan anda
dengan yang lain. Suami anda memilih anda, bukan yang lain, berarti ada sesuatu
yang anda miliki yang sangat berbeda. Ya, mungkin itu bisa membantu
mengingatkan anda tentang betapa potesialnya anda. Selain itu, jangan malu untuk
belajar pada orang lain. Suatu waktu lihatlah seorang berikut anak-anaknya yang
sukses di mata anda, tidakkah anda tergelitik untuk menelisik apa rahasia istri
beliau sehingga suami dan anak-anaknya sukses?
Orang bijak mengatakan, "Hidup sukses, bebas dari
kesia-siaan." Dari contoh kecil di atas, tentu masih banyak yang bisa kita
lakukan menyesuaikan keadaan dan kemampuan kita dalam upaya kita untuk
terhindar dari kesia-siaan. Misalnya saja tersenyum atau memberi sekedar
makanan kepada tetangga kita. Berkebun di pekarangan, menempel stiker doa-doa
di pintu atau cermin agar kita tak lupa untuk selalu memohon perlindungan-Nya
sebelum melakukan aktifitas. Mengumpulkan anak-anak kecil dan mengajari mereka
mengaji. Memilih satu hari sebagai English Day juga bisa menjadi
alternatif lain. Atau membuat lembaran mutabaah dalam rangka meningkatkan
hafalan dan tilawah. Dalam hal ini, tentu saya masih harus banyak belajar
karena saya masih baru dalam status saya sebagai seorang istri.
Selain taat kepada suami dan menunaikan haknya sebagai upaya kita mendapat pahala jihad, masih banyak yang
bisa kita gali dan kita lakukan. Ya, asalkan kita peka terhadap lingkungan dan
tangkap ketika ide itu datang. Yakinlah pisau itu tak akan berkarat. Jika tak ada daging untuk di iris, bukankah masih bisa kita gunakan pisau untuk memotong sayur? Maka mulailah bekerja. Seperti yang ustadz Anis Matta sampaikan,
bekerja dengan cinta. Maka mari kita sapu dan bersihkan rumah kita dengan
cinta, melayani suami, memasak, mencuci dan berkarya dengan cinta. Jangan
biarkan diam menguasai kita.
Diam berarti membiarkan waktu berlalu tanpa arti. Padahal
kewajiban kita terhadap waktu adalah memanfaatkannya sebaik-sebaiknya. Alangkah
pentingnya waktu ini, sampai Allah menurunkan ayat 'Demi Masa.' Dalam ayat
lain, bukankah kita harus bergegas setelah kita selesai dengan satu urusan,
"kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain" (94:7)
Namun sebagai manusia biasa, mungkin kita terkadang lalai. Ketika
mungkin saat itu datang, tak ada yang lebih bijak kita lakukan selain
memperbaiki diri dan menebar kebaikan. Karena bukankah amal yang ikhlas turut
andil dalam mengurangi keburukan yang pernah kita lakukan? Maka segera bangkitlah
jika terjatuh. Karena kalau tidak, tentu kita akan jauh tertinggal dengan yang
lain.
Bangkit dan teruslah bergerak, sebagaimana sepeda yang akan
menjatuhkan kita bilamana kita berhenti mengayuhnya. Bergeraklah, hasilnya
serahkan pada-Nya.
Semangat Bergerak!
Dekat pintu dapur, 20 April 2013
No comments:
Post a Comment