Laman

23 Feb 2019

Kurang Piknik

Entah sudah berapa purnama terlewat, aku tak menghitungnya. Karena bagiku sama saja. Saat sabit ataupun bulat, tak ada yang berbeda. Hari-hariku hanya diisi oleh riuh suara kanak-kanak, bunyi wajan sutil yang beradu serta perabotan memasak lainnya. Pagi atau sore mungkin akan ada kemeresek dedaunan yang tergiring sapu lidi. Sesekali suara televisi menemani.

Sekarang akhir pekan. Sebentar lagi suamiku akan tiba. Biasanya kami akan dibawakan martabak atau oleh-oleh lainnya.

Ah, suamiku. Andai engkau tahu, aku ingin yang lebih dari itu. Aku juga ingin seperti mereka. Memakai gamis dan hijab yang senada. Menghabiskan akhir pekan dengan bahagia.

Aku juga ingin makan di tempat yang bagus. Atau naik eskalator. Oya, katanya sekarang juga tempat perbelanjaan itu sudah banyak yang pakai lift lho. Lastri kemarin bercerita.

Sebenarnya aku ingin tahu, tapi aku tak berani bertanya berapa biayanya jika ingin kesana. Aku takut tidak akan sesuai dengan uang yang mas Darmin miliki. Maka anganku kubunuh dalam diam.

"Nah, ayo sini kita makan."

Ahai, itu dia suara merdunya. Sebenarnya mas Darmin suami yang baik. Dia membebaskanku masak di akhir pekan seperti ini. Perhatiannya tak luntur ditelan waktu.

"Ah ya. Sebentar ya, Mas."

Kami makan bersama lalu menonton televisi. Aku, mas Darmin dan kedua anakku.

"Banjir bandang melanda Makassar dan sekitarnya... " suara penyiar wanita itu membacakan berita.

Lalu aku membayangkan bagaimana jika rumah mungil kami yang terendam banjir. Tentu kami tidak bisa makan dan tidur dengan nyaman.

Astagfirullah. Aku bukan kurang piknik ternyata. Hanya kurang syukur. Itu saja.

"Nah, masih ada sisa uang belanja nggak?"

"Masih, Mas."

"Ditabung boleh nggak?"

"Iya boleh, Mas."

Ya, mas Darmin selalu menyebut infaq sebagai tabungan. Tabungan akhirat.

Salam bahagia,
Darmin dan Tinah

***

Pray for Makassar...

***

No comments:

Post a Comment