11 Nov 2018

TETANGGA-TETANGGA

Mencoba buat cerpen.

***

"Udangnya berapa ini?"

"Tujuh belas ribu, Bu."

"Kalo teri basah?"

"Teri tujuh ribu."

"Saya ambil terinya saja deh. Sama sop-sopan satu jadi pas sepuluh ribu ya, Mang."



Bu Siti menyerahkan selembar uang warna ungu kepada mang Ucup.

"Bu, tapi adik maunya udang, dia ga berani bilang ke Ibuk," Ridwan anak bu Siti menyela.

"Nanti ya Nak kalau ada rejeki in syaa Allah kita beli udangnya."

"Eh, Ridwan ikut ibu belanja juga? Rasyid mana, kok nggak ikut?" Aisyah yang sedang memilih buah buka suara.

"Adek lagi sakit tante."

"Sakit apa?"

"Ah, biasa kok mbak, sakit panas," sela Bu Siti. Ia tak mau membuat tetangganya khawatir atau malah repot karenanya.

"Bu Siti, baju saya sudah jadi belum ya?" Tanya Bu Anis yang baru datang.

"Oh sudah, Bu," jawab bu Siti.

"Alhamdulillah. Makasih ya, Bu. Mau buat acara sekolah besok soalnya, Bu."

"Iya, Bu. Hari ini sudah bisa diambil ya. Yasudah saya pamit pulang dulu. Mari, mbak Aisyah, bu Anis..."

"Iya, Bu. Salam untuk Rasyid ya. Semoga lekas sehat."

"Iya, mbak. In syaa Allah disampaikan."

***

Bu Siti memasuki kontrakan. Ditatapnya penuh sayang si bungsu yang tergolek lemah di atas kasur palembang berwarna biru. Suaminya sudah berangkat kerja sejak subuh tadi. Berbekal nasi dan telur ceplok buatan Siti, pak Sobri memacu kuda besinya penuh semangat membelah jalanan ibukota.

"Pak, habis ini aku ke tukang sayur ya."

"Ya, Buk. Ini uangnya. Mudah-mudahan cukup ya. Nanti siang in syaa Allah ditambahi lagi."

"Alhamdulillah, makasih, Pak. Bismillah ya."

"Iya, Bu."

Dua lembar alat tukar warna ungu dan orange berpindah tangan. Siti mencium takdzim punggung tangan suaminya.

Sedianya ia hendak membeli udang kesukaan Rasyid, siapa tau dengan makan itu semangatnya kembali pulih. Sebenarnya dua anak lelakinya tak pernah neko-neko soal makan. Meski hanya dengan tempe atau tahu saja makannya sudah lahap. Kadang Siti membeli sop-sopan satu plastik. Tapi makanan itu bisa disulap jadi dua menu. Sayur sop dengan kuah yang banyak, serta bakwan yang sudah diberi satu telur di dalam adonan tepungnya, supaya lebih bergizi. Dan pagi ini Siti ingin sekali membeli udang seperti mau anaknya. Tapi jatah belanja belum cukup. Kurang dua ribu.

Tak mau berpanjang angan, buru-buru Siti membawa belanjaannya ke dapur. Membuat teh hangat untuk si bungsu. Teri basah dan sop-sopan ia masukkan kulkas. Kulkas bekas seharga setengah juta yang dibeli dari tetangganya kala itu. Masih bagus memang, karena si empunya dulu cuma pengen ganti dengan yang lebih besar dan lebih banyak pintunya.

"Diminum dulu tehnya."

"Makasih, Buk."

"Oya tadi dapat salam dari bu Aisyah, trus bu Aisyah juga doain supaya Rasyid cepat sembuh. Rasyid cepat sembuh ya biar bisa ngaji lagi sama bu Aisyah."

Rasyid mengangguk. Siti kembali ke dapur. Mengambil dua telor lalu membuat dadar telor untuk mereka bertiga. Katanya makanan dua porsi itu cukup untuk bertiga. Alhamdulillah benar adanya.

"Sekarang kita sarapan pakai ini dulu ya, Nak. Siang nanti in syaa Allah Ibuk buatkan teri goreng tepung sama sayur sop."

"Wah .... Alhamdulillah. Makasih, Buk."

***

"Tok tok tok ....! Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Siapa ya?"

"Anis, Bu."

"Oh, bu Anis. Mari masuk. Mau ambil jahitan ya."

"Iya, Bu. Berapa jadinya?"

"Biasa Bu Sepuluh ribu."

"Ini. Makasih ya, Bu."

"Eh, kebanyakan ini, Bu. Kan cuma ngecilin saja." Siti menatap uang yang sama besarnya dengan jatah belanja dari suaminya hari ini.

"Nggak papa, Bu. Buat beli es anak-anak."

"Wah kalau es saya juga punya, Bu. Ndak udah repot-repot ...."

"Yaudah buat ibunya anak-anak juga boleh," jawab Bu Anis sambil terkekeh.

"Ah bu Anis nih bisa saja. Makasih ya Bu."

***

"Mang .... Mang ..., saya mau udangnya dong yang tadi," sedikit berlari Siti menghampiri mang Ucup.

"Wah, sudah habis Bu dibeli Bu Anis sama bu Aisyah tadi."

"Yasudah Mang terima kasih."

***

Dengan langkah gontai Siti kembali ke rumah.

Tak lama berselang datanglah tamu tak diundang, mbak Aisyah. Rumahnya berjarak 3 atap dari kontrakan Siti. Anaknya yang punya kontrakan, baru sebulan menikah.

"Ini, Bu, mau nengokin Rasyid. Katanya lagi sakit. Oya saya lagi belajar masak, nanti cobain ya Rasyid."

Diserahkan udang asam manis dalam kotak makan serta buah mangga seplastik.

"Ya Allah mba ... Repot-repot segala. Makasih ya mbak."

"Nggak repot kok, Bu."

Setelah mengobrol beberapa waktu Aisyah pun undur diri.

***

Pintu kembali diketuk. Bu Anis.

"Kenapa, Bu? Masih kegedean ya bajunya?"

"Ah, nggak kok, Bu. Pas Alhamdulillah. Ini saya lagi buat udang goreng tepung, sekalian Irwan mau nengok Rasyid yang lagi sakit katanya." Anak sulung bu Anis memang seusia Rasyid.

"Ya Allah, Bu. Maaf jadi merepotkan."

"Ndak repot kok, Bu."

***

Siang hari pak Sobri pulang. Alhamdulillah sudah cukup hasil mengojeknya hari ini. Jika libur ia hanya bekerja setengah hari karena ingin membersamai anak-anak dan istri.

"Wah ... Kok ada banyak menu begini, Buk."

"Alhamdulillah rizki istri qonaah, Pak."

"Rizki anak solih juga to, Buk," Rasyid menyahut.

Mereka pun tertawa bersama.

***

Dari Abu Hurairah r a. berkata Bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam perkara: Apabila engkau berjumpa dengannya, sampaikanlah salam; apabila ia mengundangmu, maka penuhilah undangannya; apabila ia minta nasihat, berilah ia nasihat; apabila ia bersin dan mengucapkan “al-Hamdulillah”, ‘ maka jawablah dengan “Yarhamukallah”, apabila ia sakit, maka jenguklah; dan apabila ia mati, antarkanjenazahnya.” (HR. Muslim)

No comments: